MK Putuskan Eks Koruptor Ikut Pilkada Setelah 5 Tahun Bebas

by Muhammad Reza

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. MK memutus mantan terpidana kasus korupsi diperbolehkan ikut pemilihan kepala daerah (pilkada) setelah lima tahun lepas menjalani pidana pokok.

“Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU bertentangan dengan UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua Majelis Hakim Anwar Usman di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu, 11 Desember 2019.

Pasal 7 ayat (2) huruf g, yang mencantumkan syarat ikut pilkada, awalnya berbunyi, ‘tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

MK memutus mengubah syarat dalam pasal tersebut. Pertama, napi eks koruptor mengikuti pilkada lima tahun setelah bebas dari hukuman. Kedua, sang calon kepala daerah harus membuka jati dirinya sebagai mantan narapidana. Ketiga, calon tersebut bukan napi yang melakukan kejahatan secara berulang-ulang.

Isi lengkap Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada menjadi:

(i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;

(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan

(iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;

Uji materi UU Pilkada ini diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Pemohon meminta MK mengabulkan jeda waktu 10 tahun setelah bebas bagi eks narapidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam pilkada.

“Kami berharap putusan MK menjadi wujud nyata penghormatan kita pada hak pemilih untuk mendapatkan calon kepala daerah berintegritas bagi daerahnya,” kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada Medcom.id.

Argumentasi dalam permohonan juga memasukkan fakta politik terkini soal eks napi korupsi yang maju dalam pilkada kembali bermasalah. Gambaran ini terjadi pada kasus Bupati Kudus, Jawa Tengah, Muhammad Tamzil.

Tamzil yang menyandang status eks napi korupsi terpilih di Pilkada 2018. Namun, dia terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019. (medcom)

Related Articles

Bagaimana Tanggapan Anda?....

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.