BULUNGAN – Desa Liagu di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, tidak hanya memiliki sejarah panjang, tetapi kini juga menjadi salah satu lokasi rujukan rehabilitasi mangrove berbasis ekologi yang diminati hingga mancanegara.
Secara geografis, Desa Liagu berada di bagian selatan ibu kota kecamatan dengan jarak 130 kilometer dari ibu kota kecamatan, 150 kilometer dari ibu kota kabupaten maupun provinsi, serta hanya 15 kilometer dari Kota Tarakan.
Ahmad, salah satu tokoh masyarakat yang merupakan keturunan keenam dari Pangeran Tumenggung pendiri sekaligus pemberi nama Desa Liagu menuturkan bahwa pada tahun 1917, leluhurnya mendapat undangan dari Kesultanan Bulungan yang ketika itu masih berpusat di Salimbatu.
“Untuk sampai ke Kesultanan Bulungan, kakek buyut saya bersama rombongan menggunakan sampan menyusuri Muara Sungai Kayan. Setelah beberapa lama mendayung, mereka beristirahat di sebuah tempat dengan air berwarna merah. Di sanalah mereka mencuci peralatan dapur,” ujar Ahmad.
Dari peristiwa itu, Pangeran Tumenggung kemudian memberi nama Liagu, yang berasal dari kata Lia (merah) dan Mbagu (peralatan dapur). Sejak saat itu, nama Liagu melekat dan berkembang menjadi sebuah desa yang masih lestari hingga kini.
Desa Liagu memiliki luas wilayah 10.000 hektare, terdiri atas 616 hektare kebun, 5.000 hektare tambak, 4.000 hektare laut, 5.607 hektare hutan, serta 227 hektare area permukiman. Wilayahnya berbatasan dengan Desa Betayau (Kabupaten Tana Tidung) di utara, Kota Tarakan di timur, Kecamatan Tanjung Palas Tengah (Salimbatu) di selatan, dan Kabupaten Tana Tidung di barat.
Berdasarkan data 2023, desa ini terbagi ke dalam empat rukun tetangga (RT) dengan total 158 kepala keluarga dan 686 jiwa. Pemerintahan desa saat ini dipimpin oleh Idris.
Di sektor pendidikan, Desa Liagu memiliki satu unit PAUD/TK dengan tujuh pengajar dan 75 siswa, satu sekolah dasar dengan sembilan guru dan 132 siswa, serta satu SMP dengan delapan pengajar dan 31 murid. Namun, tantangan pendidikan masih terlihat dengan adanya 23 warga yang tercatat buta huruf, sementara lulusan perguruan tinggi baru mencapai 13 orang sarjana strata satu (S1).
Belakangan, Desa Liagu semakin dikenal luas setelah mendapat kunjungan delegasi Sri Lanka. Mereka menggelar kegiatan penanaman bibit mangrove sekaligus menjadikan Desa Liagu sebagai salah satu rujukan rehabilitasi mangrove berbasis ekologi. Selain Sri Lanka, sejumlah tim dari dalam dan luar negeri juga menjadikan desa ini sebagai lokasi percontohan mangrove berkelanjutan.
Sejarah panjang dan peran ekologis Desa Liagu menjadikannya bukan hanya warisan budaya leluhur, tetapi juga aset penting bagi dunia dalam menjaga keberlanjutan lingkungan.