
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan.
Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merekomendasikan peningkatan dana bantuan partai politik (parpol). Dana parpol diusulkan naik jadi Rp8.000 per suara dari sebelumnya Rp10.706 per suara secara bertahap selama 10 tahun.
Rekomendasi ini berdasarkan hasil kajian KPK dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kajian ini memperbaiki perhitungan dengan data yang lebih lengkap berdasarkan kondisi riil dari laporan keuangan parpol.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan pendanaan negara kepada parpol memiliki urgensi dalam upaya pencegahan korupsi. Sebab parpol merupakan salah satu institusi demokrasi yang penting dan strategis karena memiliki fungsi, tugas, dan tanggung jawab melakukan rekrutmen politik.
KPK juga menilai demokrasi terkonsolidasi membutuhkan parpol yang solid dan sehat secara organisasi, demokratis secara internal, berintegritas, dan terinstitusionalisasi. Sehingga, pembiayaan parpol oleh negara secara signifikan diperlukan untuk mengambil alih kepemilikan sekaligus kepemimpinan parpol dari individu-individu pemilik uang.
“Diharapkan parpol benar-benar menjadi badan hukum publik yang dimiliki para anggota dan dipimpin secara demokratis oleh anggota sebagaimana semangat Undang-Undang Partai Politik,” kata Pahala di Gedung KPK, Jakarta, Rabu, 11 Desember 2019.
Menurut Pahala, kajian pendanaan ini bertujuan untuk mencari skema ideal sebagai dasar (baseline) pemberian dana bantuan kepada parpol. Dari kajian ini, KPK dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah tentang besaran dana bantuan kepada parpol dan persyaratan administratif serta tata kelola internal parpol yang harus dipenuhi.
“Tujuan akhirnya adalah rekomendasi skema besaran pendanaan partai ini dapat mengurangi korupsi politik,” katanya.
Untuk mencapai hal tersebut, lanjutnya, bantuan pendanaan negara ini membutuhkan persyaratan yang tercantum dalam kajian terdahulu tentang Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang meliputi lima komponen utama yakni kode etik, demokrasi internal parpol, kaderisasi, rekrutmen, dan keuangan parpol.
Pemerintah, ucap Pahala, sudah seharusnya mengevaluasi penggunaan pendanaan negara, salah satunya dengan menggunakan tools SIPP. Pendanaan negara kepada partai politik ini juga harus diaudit oleh BPK dan hasil auditnya diumumkan kepada publik secara berkala.
“Sebab, membangun organisasi parpol yang bersih dan berintegritras ditentukan oleh salah satunya pengelolaan keuangan parpol secara baik,” tegasnya
Pahala menyebut estimasi kebutuhan anggaran yang dikumpulkan dalam kajian dari lima partai, yakni Golkar, PKB, PDIP, Gerindra, dan PKS diperoleh nilai sebesar Rp16.922 per suara. Kelima partai ini memiliki perolehan suara lebih dari 50 persen pada Pemilu 2019.
Bantuan pendanaan akan diberikan maksimal 50 persen kebutuhan anggaran parpol agar parpol tetap memililki ruang untuk mengembangkan parpol. Bantuan dana akan diberikan dalam jangka waktu lima tahun secara bertahap.
Pada tahun pertama, dana bantuan diberikan sebesar 30 persen, di tahun kedua 50 persen, tahun ketiga 70 persen, tahun keempat 80 persen, hingga tahun kelima menjadi 100 persen dari 50 persen bantuan pendanaan negara kepada parpol. “Bantuan pendanaan negara hanya untuk membiayai kebutuhan operasional parpol dan pendidikan politik, tidak termasuk dana kontestasi politik,” jelas dia.
Dengan estimasi dan skema pendanaan tersebut, untuk tahun pertama di tingkat pusat, negara perlu mengalokasikan dana Rp320 miliar dengan asumsi suara pemilih 126 juta pada Pemilu 2019. Membandingkan dengan APBN 2019 sekitar Rp2.400 triliun, angka ini relatif kecil yakni sekitar 0,0046 persen dari APBN.
Hingga tahun kelima, estimasi total bantuan pendanaan yang akan dialokasikan negara untuk parpol sebesar Rp3,9 triliun. Perhitungan ini lebih rendah dibandingkan dengan rekomendasi Bappenas yang didasarkan pada suara PDIP sebesar Rp48.000 per suara. Sehingga, negara perlu mengalokasikan dana sebesar Rp6 triliun.
Untuk tingkat dan kabupaten/kota sesuai dengan PP Nomor 1 tahun 2018, pendanaan provinsi naik 20 persen dari pendanaan tingkat nasional dan kabupaten/kota naik 50 persen. Dengan aturan tersebut, di tahun pertama negara perlu mengalokasikan dana Rp928,7 miliar. Dengan skema peningkatan bertahap dan estimasi inflasi 5 persen, maka hingga tahun kelima untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota, negara perlu mengalokasikan dana total Rp11,2 triliun.
“Sehingga, total secara nasional pendanaan negara untuk keuangan parpol sebesar Rp15,1 triliun,” kata Pahala.
Untuk memperkaya kajian, tim KPK dan LIPI melakukan studi terkait praktik yang sama di 20 negara. Hampir semua negara yang dijadikan pembelajaran menunjukkan peran negara yang memberikan dana bantuan kepada parpol.
Besaran bantuan negara untuk parpol beragam, mulai dari 23 persen hingga 90 persen. Di Jepang dan Belanda, misalnya, bantuan pendanaan parpol oleh negara termasuk yang paling kecil sebesar masing-masing 23 persen dan 35 persen. Paling tinggi pendanaan negara untuk parpol sebagaimana praktik di Turki.
“Sementara di Malaysia, negara tidak memberikan bantuan dana untuk parpol, tetapi mengizinkan parpol untuk berbisnis,” pungkasnya. (medcom)