Oleh: Erwin Syahputra
Wakil Ketua Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP)
Ketika Pilar Demokrasi Terabaikan
Di tengah riuh rendah politik nasional dan derasnya arus informasi digital, satu elemen fundamental dalam demokrasi kerap terpinggirkan: pers. Padahal, pers bukan sekadar penyampai berita. Ia adalah penjaga akal sehat bangsa, pengawas kekuasaan, dan suara bagi mereka yang tak terdengar. Ketika eksekutif, legislatif, dan yudikatif terancam oleh kepentingan, pers hadir sebagai benteng terakhir yang menjaga integritas demokrasi.
Namun, ironisnya, peran vital ini justru sering kali dilupakan—baik oleh penguasa maupun oleh masyarakat yang larut dalam euforia digital dan politik identitas.
Fungsi Vital Pers dalam Demokrasi
Pers memiliki fungsi yang tak tergantikan dalam sistem demokrasi:
– Watchdog Kekuasaan: Mengawasi jalannya pemerintahan, mengungkap pelanggaran, dan memastikan transparansi.
– Penyedia Informasi Objektif: Menyajikan fakta, bukan propaganda.
– Pendidikan Publik: Mencerahkan masyarakat agar mampu berpikir kritis dan mengambil keputusan yang bijak.
– Jembatan Komunikasi: Menyambungkan suara rakyat dengan pengambil kebijakan.
– Penjaga Pemilu yang Jujur: Menjadi garda depan dalam menjaga integritas proses demokrasi.
Namun, semua ini hanya mungkin jika pers bebas dan independen. Ketika media tunduk pada tekanan politik atau menjadi alat propaganda, maka demokrasi kehilangan salah satu penopangnya. Tanpa ruang publik yang sehat, demokrasi hanya tinggal slogan kosong.
Jasa Wartawan untuk Negara: Antara Pelayanan Informasi dan Tantangan Etika Publik
Di tengah derasnya arus informasi dan tuntutan transparansi publik, jasa wartawan untuk negara menjadi instrumen strategis dalam membentuk persepsi, menyampaikan kebijakan, dan menjalin komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Namun, di balik fungsi komunikatif ini, terdapat pertanyaan mendasar: apakah jasa wartawan untuk negara sekadar alat promosi, atau justru menjadi jembatan etis antara kekuasaan dan publik?
Fungsi Ganda: Informasi dan Representasi
Jasa press release, liputan media, dan konferensi pers bukan sekadar aktivitas teknis. Ketiganya merupakan bentuk representasi narasi negara kepada rakyat. Ketika pemerintah menggunakan jasa wartawan untuk menyampaikan capaian, kebijakan, atau respons terhadap isu publik, ada harapan bahwa informasi tersebut akurat, relevan, dan tidak manipulatif.
Namun, dalam praktiknya, jasa ini sering kali beroperasi dalam zona abu-abu antara komunikasi publik dan propaganda. Ketika narasi yang dibangun terlalu satu arah, tanpa ruang untuk kritik atau klarifikasi, maka fungsi jurnalistik sebagai pengawas kekuasaan bisa tergerus oleh kepentingan institusional.
Manfaat Strategis, Risiko Demokratis
Tidak dapat disangkal bahwa jasa wartawan membantu meningkatkan visibilitas program pemerintah, membangun citra positif, dan memperkuat hubungan dengan masyarakat. Dalam konteks birokrasi yang kompleks dan masyarakat yang beragam, jasa ini menjadi alat penting untuk menyederhanakan pesan dan memperluas jangkauan informasi.
Namun, manfaat ini harus diimbangi dengan komitmen terhadap etika jurnalistik. Ketika wartawan atau media hanya menjadi corong pemerintah tanpa independensi, maka yang terjadi bukan komunikasi, melainkan dominasi narasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan media yang tidak hanya menyampaikan, tetapi juga mengkritisi.
Jalan Tengah: Profesionalisme dan Akuntabilitas
Solusinya bukan menolak jasa wartawan untuk negara, melainkan menata ulang relasi antara media dan pemerintah. Jasa informasi publik harus dijalankan oleh wartawan yang menjunjung tinggi integritas, bukan sekadar memenuhi pesanan. Pemerintah pun harus membuka ruang bagi media untuk bertanya, mengkritik, dan menyampaikan suara masyarakat.
Transparansi dalam penggunaan anggaran media, keterlibatan jurnalis independen, dan publikasi yang berbasis data adalah langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa jasa wartawan tidak menjadi alat kekuasaan, melainkan mitra demokrasi.
Jejak Sejarah: M. Tabrani dan Peran Transformasional Pers
Sejarah Indonesia membuktikan bahwa pers bukan hanya pencatat peristiwa, tetapi juga penggagas perubahan. M. Tabrani, seorang jurnalis visioner yang kini diakui sebagai Pahlawan Nasional, adalah tokoh yang mengusulkan istilah “Bahasa Indonesia” sebagai bahasa persatuan. Ia menolak istilah “bahasa Melayu” demi menghindari kesukuan dan memperkuat identitas nasional.
Gagasan ini ia suarakan lewat media massa, jauh sebelum Sumpah Pemuda 1928. Ini bukan sekadar kontribusi jurnalistik—ini adalah bukti bahwa pers mampu menciptakan sejarah, bukan hanya melaporkannya.
Tantangan Pers di Era Digital
Di era digital, tantangan yang dihadapi pers semakin kompleks:
– Banjir Informasi dan Hoaks: Wartawan kini harus menjadi verifikator di tengah tsunami informasi palsu.
– Isu SARA dan Polarisasi: Media harus menjaga keutuhan bangsa dari retakan identitas.
– Tekanan Ekonomi dan Algoritma: Independensi pers terancam oleh model bisnis yang mengutamakan klik daripada kualitas.
– Intervensi Politik: Media yang seharusnya netral sering kali terjebak dalam pusaran kepentingan elite.
Namun, tantangan terbesar tetap sama: menjaga integritas dan keberanian untuk berdiri di sisi kebenaran, meski berisiko.
Kesimpulan: Demokrasi Butuh Pers yang Merdeka
Demokrasi yang sehat tidak bisa hidup tanpa pers yang bebas. Wartawan bukan musuh negara, melainkan mitra kritis yang membantu membangun bangsa. Menghormati dan melindungi kebebasan pers bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga investasi politik untuk masa depan Indonesia.
Jika pers terus dilupakan, maka demokrasi akan kehilangan cerminnya. Sudah saatnya kita mengembalikan martabat pers sebagai pilar keempat demokrasi—bukan pelengkap, tapi penentu arah bangsa.****

