Oleh: M. Dahlan Abubakar
Perkembangan teknologi informasi selain membawa berkah bagi para pekerja pers, namun di pihak lain mengusung ancaman terjadinya disrupsi informasi di tengah publik. Berkah maksudnya, dengan kemudahan teknologi informasi, wartawan boleh tidak perlu berkantor secara fisik, tetapi cukup mengirimkan berita dari tempat tidurnya di rumah.
Teknologi informasi juga menjadi ancaman bagi media arus utama karena beredarnya secara tidak terkendali media sosial di jagat media maya dengan informasi yang kadang tidak terkonfirmasi dan tidak terverifikasi.
“Pertarungan” antara media arus utama dengan media sosial ini meskipun berlangsung secara tidak vulgar, namun dampaknya dirasakan sangat konkret dan drastis. Hal ini disebabkan informasi media sosial dapat diproduksi oleh publik tanpa keterampilan sama sekali dan juga diiringi abai etika publikasi.
Arus informasi dari media sosial ini mengalir bagaikan air bah karena menyasar warga net yang rata-rata sudah memiliki gawai (telepon genggam). Publik yang tidak terpelajar terkadang menerima informasi dari media sosial tersebut tanpa saringan sama sekali.
Menyikapi perkembangan informasi yang tidak lagi melulu dominasi media arus utama, pada pelaksanaan Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) PWI Pusat bekerja sama PWI Jawa Barat (6 s.d. 10 Februari 2024) menawarkan sejumlah materi pembelajaran yang secara langsung memberi modal kepada peserta menghadapi perkembangan disrupsi informasi melalui media sosial tersebut.
Salah satu materi yang dibawakan adalah bertajuk “Multitasking Journalism”. Materi ini memberi bekal pengetahuan dan keterampilan kepada para peserta yang berasal dari kabupaten, kota, dan provinsi di Jawa Barat pada level anggota muda, dapat menjadi seorang wartawan untuk multi-platform. Mulai dari media cetak, media daring, media audio-visual, dan sebagainya.
Menyikapi perkembangan jurnalisme yang ditingkahi oleh kemajuan teknologi informasi yang luar biasa, para peserta juga diberi bekal “critical thinking” (berpikir kritis), dan wawasan kebangsaan serta integritas.
Dengan modal ini, PWI Pusat masa bakti 2023-2028 ingin menghasilkan wartawan-wartawan andal yang tidak hanya memiliki keterampilan, pengetahuan dan wawasan serta kesadaran, tetapi juga memiliki integritas, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, memiliki wawasan kebangsaan, dan juga mampu menjadi wartawan untuk segala multi platform yang ada.
Bermodalkan pengetahuan dan keterampilan tersebut, media arus utama pun dapat mengimbangi laju disrupsi informasi yang kerap diungkapkan dan disebarkan media sosial. Penyebaran informasi yang terdisrupsi tersebut kian menohok eksepsi publik ketika ada campur tangan “artificial intelligence” (kecerdasan buatan).
Dengan adanya wartawan yang memiliki kemampuan “multitasking journalism” tersebut, media arus utama pun dapat melaksanakan kegiatan jurnalisme terpadu yang kini dikenal dengan konvergensi jurnalisme/media.
Pada tahun 2018, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo pada peringatan Hari Pers Nasional menyebutkan, mengatakan, Indonesia memiliki sekitar 47.000 media massa, terdiri atas media cetak, radio, televisi, dan media online. Dari jumlah itu, 2.000 di antaranya adalah media cetak, 674 radio, 523 televisi, termasuk lokal dan selebihnya media daring.
Jumlah itu mengantar Indonesia menjadi negara dengan media massa paling banyak di dunia. Meskipun demikian, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh wartawan dalam mengemban tugas kewartawanan.
Tantangan yang paling dominan adalah berkaitan dengan profesionalisme wartawan. Agus Sudibyo (2004) dalam bukunya berjudul “Ekonomi Politik Media Penyiaran” mengatakan, akhir-akhir ini marak muncul wartawan dengan tingkat profesionalisme yang rendah. Ia menyebutnya dengan istilah “wartawan kagetan”, meskipun tenaga mereka memang dibutuhkan, sehingga sungguh tidak realistis menggugat kualifikasi mereka. Oleh sebab itu, yang perlu digalakkan adalah pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi mereka.
Jika kita merujuk kepada pekerjaan wartawan sebagai satu profesi, maka sewajarnya profesi ini kemudian muncul langkah menciptakan indikator wartawan yang kompeten dengan adanya Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dicanangkan pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Palembang pada tahun 2010.
Uji kompetensi ini secara alamiah atau kemampuan akan menyeleksi mereka yang memiliki kompeten menggeluti pekerjaan ini atau tidak, terutama para wartawan produk akhir-akhir ini yang hanya bermodalkan kemampuan mengoperasi piranti teknologi.
Ke depan, mau atau tidak mau, setiap wartawan harus mampu beriringan dengan perkembangan teknologi informasi ini dengan memperkaya diri dengan kapasitas diri yang kaya akan keterampilan jurnalistik, wawasan, dan kesadaran akan ketaatan terhadap etika dan aturan (UUD 1945, UU No.40/1999, Kode Etik Jurnalistik, dan perundangan lainnya).
Semua modal dan bekal kompetensi wartawan ini sangat tangguh menghadapi berbagai ancaman eksternal terhadap profesi kewartawanan.
Dengan kemampuan dan kompetensi tersebut, para pekerja pers mampu menghasilkan karya jurnalistik yang bernas dan bermanfaat bagi masyarakat yang sedang digerogoti oleh disrupsi informasi yang lebih banyak bersifat bohong (hoax) yang ditawarkan media sosial.
Tidak hanya itu, informasi yang disajikan pun tanpa landasan etika sebagaimana yang dikenal dalam jurnalisme kita. Media arus utama juga dituntut mengimbanginya dengan melaksanakan jurnalisme konvergensi atau “multitasking journalism”. Selain itu, setiap sosok wartawan harus mampu menjadi wartawan andal bagi diri dan masyarakatnya.
Selamat Hari Pers Nasional 2024.*