Tradisi Manugal, Warisan Leluluhur Yang Terus Hidup di Tana Tidung

by Isman Toriko

TANA TIDUNG, Metrokaltara.com – Udara pagi di pedalaman Tana Tidung terasa sejuk, dihiasi kabut tipis yang perlahan naik dari lembah. Dari kejauhan, terdengar suara kayu menancap ke tanah—duk… duk… duk…—irama khas dari tradisi menugal, cara menanam padi secara tradisional masyarakat Dayak Belusu.

Di sebuah ladang yang baru saja dibersihkan, puluhan warga tampak berbaris rapi. Laki-laki dan perempuan, tua maupun muda, bahu-membahu membuat lubang kecil dengan sebatang kayu runcing. Setelah itu, tangan-tangan terampil menaburkan benih padi ke dalam lubang. Aktivitas ini bukan sekadar pekerjaan, melainkan juga pesta kebersamaan.

Warisan Leluhur yang Hidup

Bagi masyarakat Dayak Belusu, berladang bukan hanya urusan pangan, tetapi sebuah tradisi sakral. Menugal menjadi simbol ikatan antara manusia, alam, dan leluhur.

“Tradisi ini sudah ada sejak nenek moyang kami. Dari dulu sampai sekarang tetap dilakukan. Kami melakukannya bukan hanya untuk makan, tapi juga karena ini bagian dari identitas kami,” ujar Rico Christian, seorang pemuda Dayak sambil menugal.

Rico menjelaskan bahwa proses ini memiliki aturan dan makna tersendiri. Kayu runcing yang digunakan berfungsi untuk membuat lubang kecil di tanah. Setelah lubang terbentuk, benih padi dimasukkan, lalu tanah ditutup kembali. Semua dilakukan dengan hati-hati, seolah menanam doa untuk masa depan.

Gotong Royong, Ruh dari Menugal

Tradisi menugal selalu dilakukan secara bergotong royong. Warga satu desa akan bergiliran membantu menanam di ladang milik tetangga. Esok harinya, giliran warga lain yang akan mendapat bantuan.

“Namanya nugal kalau kami bilang. Banyak orang yang datang membantu, jadi kerja terasa ringan. Selain menanam, kami juga saling berbagi cerita, tertawa, bahkan bernyanyi. Inilah yang membuat hubungan kami tetap kuat,” kata Rico.

Suasana gotong royong inilah yang membuat tradisi menugal begitu istimewa. Tidak ada yang merasa bekerja sendiri. Bahkan anak-anak ikut berlari-lari di sekitar ladang, sementara para orang tua sesekali memberi nasihat tentang cara bercocok tanam.

Manugal tidak bisa dipisahkan dari filosofi hidup masyarakat Dayak. “Manugal bukan hanya soal benih yang ditanam. Ini adalah cara kami menjaga hubungan dengan alam. Menugal mengajarkan bahwa hidup harus seimbang: kita mengambil dari hutan, tapi juga harus menjaganya. Kita makan dari tanah, maka tanah pun harus dihormati,” tuturnya.

Ia khawatir, jika tradisi ini tidak dilestarikan, generasi muda nantinya akan melupakannya. “Banyak anak-anak sekarang yang lebih mengenal teknologi dibanding cara menugal. Padahal ini identitas kita. Kalau hilang, maka hilang juga bagian dari jati diri kita sebagai Dayak Belusu,” tambahnya.

Dukungan Pemerintah

Pemerintah daerah turut memberi perhatian pada tradisi ini. Kepala Dinas Pertanian Tana Tidung Rudi,A,P,I menegaskan bahwa pelestarian kearifan lokal sejalan dengan program ketahanan pangan.

“Kami tidak hanya mendorong pertanian modern, tapi juga mendukung tradisi yang sudah turun-temurun. Karena selain untuk pangan, manugal juga punya nilai sosial dan budaya yang penting,” jelasnya.

Menurutnya, pemerintah akan terus mendampingi petani Dayak dengan penyediaan benih unggul, namun tanpa menghapus cara tradisional yang sudah menjadi ciri khas. “Modernisasi boleh masuk, tapi identitas budaya jangan sampai hilang,” tegasnya.

Menanam Harapan

Menjelang siang, suara duk… duk… duk… semakin jarang terdengar. Ladang mulai penuh dengan lubang-lubang kecil berisi benih padi. Warga pun beristirahat, duduk di bawah pohon sambil menikmati bekal sederhana: nasi, ikan asin, dan sambal pedas.

Bagi Rico, setiap benih yang ditanam adalah harapan. Harapan akan panen yang melimpah, harapan agar anak cucu tetap bisa merasakan kebersamaan yang sama, dan harapan agar tradisi ini tetap hidup meski zaman berubah.

“Kami hingga saat ini tetap ada dan hidup. Pertanyaannya, apakah 20 tahun ke depan kearifan lokal ini masih bertahan? Mari kita jaga tradisi dan hutan adat kita untuk anak cucu kita kelak,” pungkasnya.

Di ladang sederhana itu, orang Dayak Belusu bukan hanya menanam padi. Mereka menanam masa depan, menanam harapan, sekaligus merawat warisan leluhur agar tidak hilang ditelan zaman. (rko)

Related Articles

Bagaimana Tanggapan Anda?....

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses