Deddy Sitorus Serukan Bawaslu Perkuat Literasi Digital untuk Tangkal Hoaks Pemilu

by Suiman Namrullah

TARAKAN – Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Deddy Sitorus, menyoroti bahaya serius dari penyebaran narasi dan opini menyesatkan yang dibangun melalui media sosial, terutama menjelang momentum Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah.

Peringatan tersebut disampaikan Deddy dalam kegiatan Sosialisasi dan Penguatan Pengawasan Partisipatif dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang digelar oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bekerja sama dengan dirinya di Swiss-Belhotel Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), Minggu (5/10/2025).

Kegiatan ini dihadiri ratusan warga Tarakan, Wali Kota Tarakan dr. Khairul, Anggota DPRD Kota Tarakan Rathna, serta Ketua dan jajaran Bawaslu Provinsi dan Kota Tarakan.

Dalam pemaparannya, Deddy menegaskan bahwa media sosial kini menjadi tantangan besar bagi penyelenggara pemilu, khususnya Bawaslu, karena banyaknya akun-akun anonim dan buzzer yang sengaja dibentuk untuk menggiring opini publik.

“Coba lihat ciri-ciri akun terindikasi buzzer itu gimana caranya? Temannya sedikit, postingannya enggak ada atau nol, like-nya nol, bahkan akunnya dikunci private,” ujar Deddy Sitorus.

Ia menjelaskan, akun-akun buzzer tersebut kerap digunakan untuk menyebarkan narasi palsu dan memanipulasi persepsi publik demi kepentingan kelompok tertentu. Deddy mencontohkan bagaimana opini yang digiring secara masif di media sosial pernah menyebabkan kekacauan dalam demonstrasi di DPR RI.

“Opini palsu yang dioperasikan melalui puluhan hingga ratusan ponsel berhasil memicu kerusuhan dan memprovokasi masyarakat, padahal faktanya tidak demikian,” ungkapnya.

Deddy juga mengungkapkan adanya penyebaran ulang video dan konten lama yang dimanipulasi untuk memancing kemarahan publik. Ia bahkan pernah menjadi korban dari praktik tersebut.

“Video saya di stasiun Metro TV itu terjadi 11 bulan lalu, tapi dibuat seolah-olah baru kemarin. Begitu jahatnya,” katanya.

Menurutnya, praktik serupa juga dialami oleh sejumlah politisi lain, di mana video lama kembali dipublikasikan untuk membangun narasi negatif menjelang Pemilu.

Selain ancaman buzzer, Deddy turut menyoroti bahaya teknologi baru seperti Artificial Intelligence (AI) yang dapat digunakan untuk membuat konten palsu dengan tingkat kemiripan tinggi terhadap aslinya.

“Sekarang foto orang bisa dibuat bergerak, atau disusun menjadi adegan yang tidak pernah terjadi. Bahkan suara bisa dikloning, dibuat seolah-olah seseorang mengucapkan sesuatu padahal itu tidak benar,” jelasnya.

Untuk menghadapi fenomena ini, Deddy mendesak Bawaslu agar lebih aktif dalam memberikan literasi digital kepada masyarakat dan menjalin kerja sama lintas lembaga.

“Ini tantangan buat Bawaslu. Harus ada literasi media sosial kepada warga agar bisa membedakan informasi benar dan salah. Minimal, Bawaslu bisa bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital untuk verifikasi konten,” tegasnya.

Deddy menambahkan, masyarakat perlu memahami bahwa Pemilu bukan sekadar ajang memilih pemimpin, tetapi sarana menentukan arah masa depan bangsa.

“Pemilu harus dijadikan cara untuk menyelamatkan masa depan, bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk anak cucu kita,” pungkasnya.

Related Articles

Bagaimana Tanggapan Anda?....

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses