Jakarta – Dunia pemberantasan korupsi Indonesia gonjang-ganjing di 2019. Polemik di pembuatan aturan, lembaga penegakan, hingga kasus-kasus yang menjerat koruptor banyak menyita perhatian publik.
Salah satu yang banyak disorot dan dikritisi publik maupun pemangku kepentingan ialah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang disahkan DPR pada 17 September 2019. Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 usulan DPR ini disebut ‘simsalabim’, diketok dalam lima hari setelah dibahas. Perdebatan dan tudingan semakin kencang.
Sejumlah pihak, bahkan beberapa pimpinan KPK jilid IV, menuding aturan baru ini melemahkan dan memotong taji Komisi Antirasuah. Mulai kehadiran dewan pengawas (dewas) yang dikhawatirkan mengganggu independensi KPK hingga pengurangan kewenangan. Komisioner KPK periode 2014-2019 sendiri sudah lama menolak draf yang ditawarkan. Mereka khawatir punggung pemberantasan korupsi bakal menekuk.
“KPK belum membutuhkan revisi terhadap UU 30 tahun 2002 tentang KPK. Justru dengan UU ini KPK bisa bekerja menangani kasus-kasus korupsi, termasuk OTT serta upaya penyelamatan keuangan negara lainnya melalui tugas pencegahan,” ujar Komisioner KPK Laode M Syarif kepada wartawan, Rabu, 4 September 2019.
Lain kata KPK, lain pula ucap perumus legislasi ini. UU KPK baru dinilai dapat mengembalikan muruah KPK. UU itu akan memperkuat serta mengembalikan tugas dan wewenang KPK kembali ke jalan yang lurus. Agar KPK bisa membusungkan dada.
Tim Perumus RUU KPK Romli Atmasasmita mengatakan, KPK diharap tetap memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil. KPK perlu diawasi oleh lembaga dewan pengawas (dewas) untuk mencapai tujuan dan harapan tersebut. Tak hanya bertugas mengawasi dan mengevaluasi kinerja KPK, Dewas KPK meliputi pemberian izin. Penyadapan yang jadi senjata pamungkas KPK juga mesti dilaporkan ke dewas.
Tetap saja, apa pun penolakan yang muncul, tetap tak bisa menyurutkan sikap DPR atau pemerintah. Beberapa pihak sampai mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi walau UU KPK belum diberi nomor.
Presiden Joko Widodo pun enggan mengambil sikap terburu-buru merespons desakan pembuatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Jokowi memilih menunggu hasil uji materi UU KPK yang sudah bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jangan ada, orang yang masih berproses, uji materi kemudian langsung ditimpa dengan sebuah keputusan yang lain,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jalan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat, 1 November 2019.
Ribut-ribut UU KPK ini tak berhenti di legislasi. Bola panas isu pemberantasan korupsi terus bergulir.
Bola panas anggota Dewas
Gonjang-ganjing antikorupsi berlanjut jelang pelantikan Komisioner KPK Jilid V. Walau nama-nama pimpinan baru KPK sempat berpolemik, siapa yang bakal mengisi kursi ‘wasit’ KPK lebih seksi dan banyak diperdebatkan.
Tudingan berdasar kekhawatiran tentang pelemehan KPK bermunculan. Pegiat antikorupsi berulang kali mengingatkan Presiden Jokowi hati-hati memilih pengawas Lembaga Antikorupsi.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang bahkan menyebut Dewas KPK berpotensi membawa bencana besar karena bisa membatalkan pengungkapan perkara rasuah. Semua pihak wajib mengawal dewas dan memastikan pengisi pos baru ini berintegritas dan nihil konflik kepentingan.
“Nasib buruk bisa menimpa pemberantasan korupsi ketika dewas menggugurkan perkara yang sudah matang,” ujar Saut usai diskusi Cross Check Medcom.id bertajuk ‘Koruptor Dihukum Mati, Retorika Jokowi?’, Minggu, 15 Desember 2019.
Banyak yang gamang karena Jokowi memilih bungkam hingga beberapa hari jelang hari pelantikan pimpinan jilid baru dan dewas KPK. Siapa yang dipilih jadi anggota dewas KPK, apa latar belakang, kenapa mereka dipilih, tersimpan rapi. Bahkan jaringan pewarta yang sehari-hari bercokol di Istana Merdeka tak bisa mengendus bocoran nama dewas KPK.
Bola panas tudingan dan kekhawatiran ini apik digocek Jokowi. Saat Jokowi membocorkan beberapa nama anggota Dewas KPK, kisruh anggota Dewas KPK pelan-pelan teredam.
“Ada hakim Albertina Ho, itu tapi belum diputuskan loh ya, Pak Artidjo (Artidjo Alkostar),” kata Jokowi di Hotel Novotel, Kota Balikpapan, Rabu, 18 Desember 2019.
Hari pelantikan dewas bak jadi ‘pelepas dahaga’ pegiat antikorupsi setelah perdebatan panjang nasib Komisi Antirasuah. Betapa tidak, lima nama yang ditunjuk bukan orang sembarang.
Tumpak Hatorangan Panggabean, Komisioner KPK Jilid I sekaligus eks jaksa berpengelaman puluhan tahun, dipercaya jadi Ketua Dewas KPK. Artidjo Alkotsar yang dikenal sebagai hakim bertangan besi bagi koruptor juga mengisi kursi pengawas KPK. Tak terlewat Albertina Ho, hakim yang membuat Gayus Tambunan mendekam di balik jeruji karena korupsi pajak.
Ada pula Harjono, pakar legislasi yang ikut merombak UUD 1945 dan salah satu eks Hakim Konstitusi generasi pertama di Indonesia. Tak terlewat Syamsuddin Haris, guru besar penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menekuni politik, desentralisasi, dan good governance.
Profil anggota Dewas KPK
Grafis: Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden
Setiap anggota dewas memiliki latar berbeda. Tapi, sepak terjang dan konsistensi kelima ‘wasit’ lembaga pemberantasan antirasuah amat dinanti karena rekam jejak mereka di pemberantasan korupsi tidak abal-abal.
Publik menanti
Komisioner KPK Jilid V yang dipimpin Firli Bahuri dan lima Dewas KPK yang bertaji, dilantik Jumat, 20 Desember 2019. Pengukuhan ini diharap membuat Lembaga Antirasuah semakin ganas mulai tahun depan.
Ditunjuknya Firli dan sejumlah jebolan Kejaksaan Agung di pucuk KPK diharapkan memperkuat kerja sama antarlembaga membasmi ‘tikus-tikus’ pemakan uang negara.
Lembaga peradilan juga diharap semakin tajam memakai pisau hukum untuk ‘menikam’ koruptor. Sebab, lembaga peradilan dianggap semakin melempem saat memberi vonis. Bahkan Mahkamah Agung sebagai pintu terakhir peradilan di Indonesia kerap memberi diskon hukuman untuk koruptor di 2019. Hukuman sekitar sepuluh terdakwa korupsi kelas kakap disunat tahun ini.
MA tercatat pernah mengabulkan kasasi yang diajukan Syafruddin Arsyad Temenggung pada 9 Juli 2019. MA melepaskan Syafruddin atas vonis perkara dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menjatuhkan hukuman 15 tahun pidana penjara dan denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan terhadap Syafruddin. Dengan demikian, Syafruddin lepas dari jerat hukum.
Main mata pengacara Syafruddin dan hakim terendus. MA memutuskan hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Syamsul Rakan Chaniago terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim.
Baru-baru ini, vonis mantan Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham dipangkas dari lima tahun menjadi dua tahun penjara. Atau mengalami pemangkasan selama 1.095 hari.
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan Idrus dalam kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1. Putusan dengan nomor register 3681 K/PID.SUS/2019 itu diketok palu, Senin, 2 Desember 2019.
Vonis diberikan hakim agung Krisna Harahap, Abdul Latief, dan Suhadi. “Amar utusan dikabulkan,” seperti tertera dalam situs Mahkamahagung.go.id, Selasa, 3 Desember 2019.
Pemotongan masa hukuman terdakwa korupsi ini tak membuat heran pengamat dan pakar hukum. MA dianggap melembek dalam menangani kasus korupsi. Tren penyunatan hukuman terdakwa kasus korupsi muncul setelah hakim agung Artidjo Alkostar pensiun, Mei 2019.
“Sepertinya tidak ada lagi yang secara (punya) kekuatan moral menjaga dan menahan libido koruptif pada hakim-hakim di MA,” kata pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.
Indonesia Corruption Watch juga melihat tren penurunan hukuman bagi koruptor. Hukuman bagi koruptor yang biasanya bertambah berat justru turun saat naik ke lembaga peradilan yang lebih tinggi. Sejak 2018, rata-rata koruptor diganjar kurungan kurang dari lima tahun.
Sinergi dan penguatan lembaga penegakan hukum untuk memberantas korupsi diharap semakin membaik tahun depan. DPR yang lebih pro-pemberantasan korupsi juga dinanti. Masih belum dibahas sejumlah UU yang bakal mempengaruhi hukum Indonesia. (medcom)