“Tak Gengsi Menugal: Carlena, Camat yang Lestarikan Tradisi Berladang Dayak di Tana Tidung”

by Isman Toriko

TANA TIDUNG, Metrokaltara.com — Pagi Hari Sabtu (4/10/2025) Embun pagi masih menempel di pucuk daun ketika sekelompok warga mulai berkumpul di ladang. Di tengah hamparan hijau dan suara burung hutan, tawa dan teriakan semangat menggema. Di antara mereka, tampak seorang perempuan mengenakan topi rotan lebar, tangan kanannya memegang kayu runcing yang biasa disebut tongkat nugal.

Ia adalah Carlena, seorang perempuan Dayak Lundayeh yang juga menjabat Camat Muruk Rian, Kabupaten Tana Tidung.

Meski berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), Carlena tak ragu menapaki lumpur dan tanah basah. Baginya, tradisi berladang bukan sekadar aktivitas bertani, tetapi panggilan jiwa yang diwariskan oleh leluhurnya.

“Inilah tradisi kami orang Dayak. Menanam padi adalah warisan dari nenek moyang kami, dan sampai hari ini masih kami lestarikan. Apapun profesinya, menanam tetap menjadi bagian dari hidup kami,” ucap Carlena sambil tersenyum.

Ia memiliki lahan berladang seluas satu hektar di Desa Gunawan, tempat di mana tradisi menugal — menanam padi secara tradisional — masih terus dijaga. Prosesnya sederhana namun penuh makna.

Dengan kayu runcing, mereka membuat lubang-lubang kecil di tanah, kemudian benih padi dimasukkan satu per satu ke dalamnya. Tak ada mesin, tak ada pupuk kimia — hanya tangan, keringat, dan doa.

“Namanya nugal kalau kita bilang. Banyak orang datang membantu. Ada yang buat lubang, ada yang tabur benih. Semua dilakukan bersama-sama,” ujar Carlena.

Di ladang, semua orang tampak setara. Tak ada yang berpangkat, tak ada yang kaya atau miskin. Setiap orang bekerja bahu-membahu, dari pagi hingga matahari meninggi. Bagi masyarakat Dayak, gotong royong dalam menugal bukan hanya soal kerja bersama, tapi juga tentang menjaga silaturahmi dan rasa persaudaraan.

“Cara ini sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang kami dulu. Satu hari di ladang saya, besok di ladang orang lain. Begitu seterusnya. Tradisi ini mengajarkan kami untuk saling menolong,” tambahnya.

Memasuki bulan September, suasana seperti ini menjadi pemandangan umum di berbagai desa di Kabupaten Tana Tidung. Asap tipis dari pembakaran lahan pertanian terlihat di beberapa titik, menandai awal musim berladang. Sebagian warga sudah mulai menanam, sebagian lagi menyiapkan lahan.

Semua dilakukan dengan keyakinan bahwa menanam padi bukan sekadar mencari hasil panen, tapi juga bentuk penghormatan kepada bumi yang memberi kehidupan.

Tradisi menugal juga kerap diawali dengan doa bersama, memohon kepada Sang Pencipta dan roh penjaga alam agar proses menanam hingga panen berjalan lancar. Doa itu biasanya dipimpin oleh tetua adat dengan sesaji sederhana — beras,sirih dan sesaji lainya— sebagai simbol rasa syukur.

“Kami percaya alam punya roh. Jadi sebelum menanam, harus minta izin dan bersyukur. Itu ajaran orang tua dulu yang masih kami pegang,” ujar salah satu warga yang ikut membantu di ladang.

Lebih dari sekadar kegiatan bertani, menugal adalah perayaan kebersamaan. Anak-anak ikut berlarian, para ibu menyiapkan makanan di pondok ladang, sementara kaum pria bekerja dengan penuh semangat.

Ketika siang tiba, semua berkumpul menikmati bekal sederhana — nasi, sayur daun ubi, sambal terasi, dan ikan asin. Di tengah tawa, mereka menceritakan masa lalu, mengenang orang tua yang dulu menugal di ladang yang sama.

Carlena berharap generasi muda Dayak tidak melupakan tradisi ini. Ia khawatir kemajuan zaman dan modernisasi bisa membuat tradisi berladang hanya tinggal cerita.

“Sekarang banyak anak muda lebih suka kerja di kota. Tapi saya selalu bilang, jangan lupakan ladang. Di sinilah jati diri kita sebagai orang Dayak. Tanah ini bukan hanya tempat menanam padi, tapi tempat menanam nilai dan identitas,” tuturnya penuh makna.

Ia menambahkan, jika tradisi ini hilang, maka sebagian dari kebudayaan dan kebanggaan masyarakat Dayak juga ikut pudar. Karena itu, menjaga tradisi berladang berarti menjaga akar kehidupan yang mengikat masyarakat dengan alam dan sesamanya.

“Kami berharap tradisi ini terus hidup. Karena setiap kali kami menugal, kami sebenarnya sedang menanam warisan — bukan hanya padi, tapi juga nilai kehidupan yang tak ternilai,” tutup Carlena.

Dan di tengah hamparan ladang yang luas itu, di bawah sinar mentari yang mulai hangat, terdengar kembali suara tugal menembus tanah — tanda bahwa warisan leluhur masih hidup di bumi Tana Tidung. (rko)

Related Articles

Bagaimana Tanggapan Anda?....

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses