Mubaligh Dalam Islam

by Setiadi
Alhabib Muhsin Bin Abdullah Bilfagih

Alhabib Muhsin Bin Abdullah Bilfagih

Oleh : Habib Muhsin Bilfagih

PERKEMBANGAN zaman telah menghantarkan rotasi masa berubah secara revolusi sehingga tak terasa sosio-kultur dan budaya masyarakat secara implisitpun berubah. Arus perputaran yang begitu cepat ini dengan spontan pula telah mampu membenturkan tantanan yang sifatnya fundamental tergeser menjadi nisbi. Seiring dengan kondisi yang sangat situasional inilah, maka banyak kata, kalimat maupun paragraf lari dari artikulasi yang sesungguhnya. Berikut, saya mencoba untuk menyampaikan unek-unek yang boleh jadi tidak penting buat pembaca. Namun, wajib untuk direnungkan! Jika saya menyoroti materi bahasan sesuai tema, maka saya ingin ikut andil dalam “Penglurusan Tentang Kalimat Mubaligh Secara Teori dan Mubaligh Sesuai Fungsi”.

Nabi Muhammad SAW ketika berkhutbah di Arafah, itulah khutbah akhir pada haji terakhir. Nabi berbicara perlahan-lahan. Ia ingin setiap kalimat dicamkan pendengarnya (jamaah,Red). Nabi juga ingin, agar yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. Kalimat itu berbunyi sebagai berikut : “Rubba Muballighin Aw’ A Min Sami”, artinya yang menyampaikan sering lebih dapat memelihara dari pada orang yang mendengarkan saja….

Begitulah lahir kata mubaligh. Sejak itu, sepanjang sejarah Islam ada sekelompok umat yang bekerja untuk menyampaikan pesan Nabi. Mereka bukan saja dihormati karena memelihara hazanah ilmu Islam, tapi juga disegani umat. Karena merekalah yang sebenarnya mememlihara eksistensi Islam. Merekalah pewaris para Nabi, benang sejarah yang terentang sejak Adam sampi akhir zaman.

Pernah datang suatu masa ketika mubaligh muncul dalam sosok faqih. Ia mendalami syariat dan mengatur masyarakat Islam dengan hukum-hukum Tuhan kepada orang bertanya tentang halal dan haram. Ia menjadi narasumber untuk mengetahui cara yang benar dalam beragama : shalat, puasa, zakat, haji, waris, nikah hingga jual beli. Untuk menjadi faqih, ia telah menghabiskan usianya sebagian besar di dalam pesantren. Ia menguasai bahasa Arab sampai kepada kaidah-kaidahnya. Ia memahami ilmu-ilmu tradisional sampai kepada bagian-bagiannya. Fatwanya memiliki otoritas, umar wajib mengikutinya. Umat harus taqlid kepadanya.

Pada masa yang lain, mubaligh tampil sebagai pemikir Islam. Ia menolak racun-racun yang dapat menghancurkan bangunan aqidah Islam. Ia digelar sebagai ahli kalam, ia mungkin menjelaskan Al-Quran dengan uraian yang logis dan sistematis. Ia menjadi mufassir, ia juga dapat meneliti ke shahihan hadist dan menjelaskan ke musykilanny, menguraikan dukungan maknanya. Ia adalah sosok ahli hadits.

Dari hasil analisa saya, itu tak penting, apakah ia faqih, ahli kalam, mufassir atau ahli hadits. Intinya adalah ia disegani umat karena kedalaman ilmunya. Ia disebut-sebut sebagai ulama, lazimnya ia berbeda dengan kebanyakan orang karena pakaiannya dan pembicaraannya. Memang tidak sembarang orang bisa menjadi ulama.

Pada masa yang lain lagi, mubaligh tampak sebagai sufi. Ia dikenal dengan kesungguhannya dalam beribadat dan kesederhanaannya dalam kehidupan. Ia dijadikan sebagai rujukan untuk perkembangan spiritual, ia dianggap memiliki keramat karena kesucian batinnya. Pada wajahnya ada aura sacral. Orang dating hanya untuk sekedar melihat wajahya. Meneguk air minumnya atau mengambil berkah dari doanya. Namanya selalu disebut dalam wirid para pengikutnya. Segala fatwanya diikuti tanpa sikap kritis, membantahnya dipandang bisa mendapat laknat atau kualat. Orang Jawa memanggilnya Kiai, istilah yang mereka pergunakan juga untuk merujuk pada benda-benda mempunyai kekuatan supranatural.

Dahulu mereka menyebutnya wali. Hal ini dapat kita kenang penyebar Islam pertama di Indonesia adalah Walu Songo. Dalam sejarah Indonesia pertama kalinya mubaligh dating dalam wajah “sufi”. Disini hubungan antara mubaligh dengan umat sama seperti hubungan tokoh rohani dengan para pengikutnya yang setia. Jarak rohaniah juga dicerminkan dalam jarak jasmaniah. Kemudian perlahan wajah faqih muncul.

Para muballigh mendirikan pesantren-pesantren, lembaga pendidikan Islam dan jumlahnya tetap tidak banyak. Sangat sulit orang mencapai tingkat keilmuan seperti itu. Tapi umat mengikuti mereka tanpa kritis. Hubungan ulama dengan umatnya sangat formal seperti hubungan guru di sekolah dengan murid-muridnya. Dan lebih dari semua itu ulama tidak boleh dikritik atau dikecam. Pada awal abad ke 20, lahir kelompok modernis. Mereka mengkritik ulama tradisional sebagai penyebab kemunduran Islam, mereka membuang institusi taqlid. Penghormatan kepada ulama dianggap sebagao cara-cara feodalisme, mengambil berkat kepada ulama dipandang musrik. Ulama tidak dipanggil lagi Kyai, ia cukup disapa dengan panggilan ustadz saja. Hubungan mubaligh dengan ummatnya sangat demokratis.

Ia boleh dikritik, dibantah atau diluruskan. Hubungan sosial sehari-hari sangat akrab sehingga ummat bisa bercanda dengan ustadz. Perlahan-lahan aura sacral dari wajah Kyai semakin memudar, otoritas mubaligh tersebar merata keseluruh ummat. Akhirnya sampai disini, setiap orang bisa menjadi mubaligh dengan alasan hadist. “Sampaikan dari aku, walau satu ayat”, setiap orang secara teoritis boleh tampil di mimbar. Ulama sebagai faqih dan sufi tersingkir dari panggung masyarakat. Yang diperlukan sekarang hanyalah keterampilan berbicara karena setiap orang bisa menjadi mubaligh. Maka, berkembanglah fatwa yang keluar dari mulut-mulut awam.

Tak jarang perbedaan pendapat berkembang menjadi konflik sosial. Ketika arus globalisasi dating, orang berhadapan dengan benturan nilai, agama tercabik-cabik dalam berbagai faham, tidak dapat memberikan kepastian. Orang merindukan kembali agama yang terlahir dari pemegang otoritas. Tercatat bahwa mulai akhir abat ke 20 terjadilah kerinduan kembali kepada Islam yang tradisional. Sekaligus juga didambakan kehadiran ulama yang bersosok sufi. Agama kaum modernis dirasakan gersang, kering dan tidak bermakna. Perhatian kaum modernis kepadah perbedaan fiqih hanya menambah ketidakpastian. Ummat merindukan merindukan sosok suf, namun yang terlahirkan dalam sosok baru bukan sufi, bukan juga faqih.

Teknologi modern dan media massa telah melahirkan mubaligh pop. Peran media mengemas dakwah dan mubalighnya. Seperti yang terlihat dakwah yang disajikan media adalah realitas kedua, didalamnya sudah masuk prilaku media, termasuk efek suara, efek tata letak dan efek visual. Orang atau siapa saja dan apa saja latar belakangnya dapat menjadi mubaligh. Asalkan media massa menampilkannya.

Yang menentukan kualifikasi mubaligh bukan lagi masalah keilmuan, bukan pula integritas moral, apalagi kualitas rohaniah. Yang menentukan adalah selera pengelolah media massa. Dakwah tidak lagi mengarah pada kegiatan sacral yang dilakukan segelintir orang. Dakwah sekarang menjadi budaya pop. Itulah sebabnya mubaligh tampil sebagai selebriti. Karena dakwah menjadi budaya pop, mubaligh sekarang tampil sebagai selebriti. Hubungan dengan pengikutnya, sama seperti hubungan artis dengan fansnya. Diawajahnya tidak ada lagi aura sacral, yang ada hanyalah sinar berasal dari lampu sorot kamera. Bahkan sebelum ia tampil di depan massa, petugas tata rias sudah memoles mukanya. Pada dahinya kelihatan bukan bekas sujud tetapi bekas polesan bedak. Tidak jarang pakaian pun sudah dipersiapkan. Ia harus muncul dengan pakaian yang dirancang oleh perancang busana yulin, meiske, fice atau durin atau perancang dari rarigis, tumaratas dan watudambo maupun lainnya. Karena ruang dalam dia terbatas tidak mungkin mubaligh menyampaikan informasi yang lengkap.

Ia harus menyederhanakan pembicaraan. Ia juga harus membuat informasi yang menarik, perlahan-lahan masuk unsur entertainment yang menggeser informasi. Tujuan utamanya ialah bagaimana menghibur pemirsa, kemampuan akting menggantikan kemampuan mengucapkan alquran dan hadist yang fasih. Sebagai selebrity mubaligh bergaul dengan kelompok yang eksklusif. Untuk itu, ia memerlukan aksesoris, tuntutan harus tampil glamour. Ia harus punya segala sesuatu yang seba lux. Bahkan mubaligh pun sudah memiliki agen-agen sebagai fasilitator dimana-mana. Agen itulah yang menentukan jadwal sang mubaligh seperti sufi tapi dalam bentuk yang lain.

Mubaligh pop tidak sama dengan kebanyakan kita. Mereka masuk pada kelompok eliter dalam dunia mimpi kita. Mereka terkenal kaya raya dan hidup ditengah-tengah wanita cantik jelita. Buat media massa mubaaligh pop adalah sumber berita. Kehidupan pribadinya menjadi sorotan, hidung media masuk sampai ke dapur dan kamar tidurnya. Tak jarang media membesar-besarkan gossip di sekitar kehidupannya sehari-hari. Mereka dibangun dan diruntuhkan media, tetapi itulah resiko menjadi bagian budaya pop. Siapapun bisa melejit dalam waktu singkat dan memudar dalam waktu yang lebih cepat lagi. Walaupun demikian, di luar panggung jauh dari hiruk pikuknya media, kita masih akan menemukan mubaligh dalam sosok sufi. Ia menghindar media, ia memilih ketenangan batin, ia memilih gelap untuk merintih dan mengadukan derita ummatnya. Ummat yang makin lama makin dewasa akan mendekati mereka. Dan kafilah rohani yang panjang ini akan terus bergerak mendekati Allah SWT. Naik dan turunnya mubaligh dalam sosok apapun hanyalah ujian sepanjang jalan. Amin ya rabbal alamin….

Related Articles

Bagaimana Tanggapan Anda?....

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.