Jakarta: Mantan Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) Bachtiar Nasir meminta polisi memeriksanya usai Ramadan. Dia mengaku tak bisa memenuhi panggilan polisi pada bulan suci ini.
“Beliau tadi minta maaf enggak bisa datang. Kami sudah komunikasi sama penyidik minta dijadwal ulang karena bulan Ramadan ya jadi ada kegiatan dan janji yang sudah harus dipenuhi oleh beliau. Makanya tadi untuk pertimbangan itu, kita minta di-reschedule,” kata kuasa hukum Bachtiar, Aziz Yanuar, di Bareksrim Polri, Jakarta Selatan, Rabu, 8 Mei 2019.
Dia menjelaskan, selama Ramadan, Bachtiar perlu mengisi pengajian dan dakwah di beberapa tempat sekitar Jakarta. Untuk itu, pihaknya berharap agar pemeriksaan dapat dilakukan usai bulan Ramadan.
“Ya, harapannya selepas Ramadan karena ini (agenda Bachtiar) padat. Cuma nanti kita lihat kebijaksaan dan kebijakan dari pihak kepolisian (seperti apa),” ucap Aziz.
Sementara itu, kepolisian menyiapkan surat panggilan kedua untuk Bachtiar Nasir. Panggilan kedua tersangka kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yayasan Keadilan untuk Semua (YKUS) itu dilaksanakan pekan depan.
“Sampai sekarang belum ada konfirmasi dari pengacaranya. Sudah dipersiapkan surat panggilan kedua terhadap Bachtiar Nasir,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo.
Pemeriksaan ini sejatinya merupakan pertama Bachtiar sebagai tersangka. Dia pernah diperiksa sebagai saksi pada 2017 untuk tersangka Islahudin Akbar, karyawan Bank Nasional Indonesia (BNI).
Bachtiar diduga menggunakan dana di YKUS untuk kepentingan pribadi. Bachtiar membantah menyelewengkan dana umat usai diperiksa pada 10 Februari 2017.
Dia mengaku dana yang terkumpul selama ini terpakai untuk konsumsi massa yang ikut unjuk rasa. Dana juga digunakan buat pengobatan korban aksi 411 di Jakarta yang luka-luka.
Bachtiar disangka melanggar Pasal 70 juncto Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 28 Tahun 2004 atau Pasal 374 KUHP juncto Pasal 372 KUHP atau Pasal 378 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 56 KUHP atau Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan atau Pasal 63 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Pasal 3 dan Pasal 5 dan Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Sumber: medcom.id